Kamis, 18 Juni 2020

Problematika Pertanahan di Indonesia: Refleksi Gagalnya Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pertanahan


Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 berbunyi sebagai berikut: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”  Jelas dalam pasal tersebut diamanatkan bahwa Negara sebagai penguasa bumi dan air dan kekayaan alam yang ada di Indonesia harus mempergunakannya untuk kemakmuran rakyat. Kata ‘sebesar-besarnya” diartikan sebagai usaha yang maksimum, menomorsatukan, atau mengedepankan,  yang dalam hal ini adalah kemakmuran rakyat.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau yang sering kita sebut dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dalam pasal 2 ayat 3 juga mempertegas tentang peruntukan bumi, air dan kekayaan alam Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia

Masalah pertanahan di Indonesia
Pengelolaan tanah dan pertanahan di Indonesia belum cukup baik dan bahkan sering menimbulkan gejolak atau permasalahan di masyarakat, seperti tumpah tindih kepemilikan lahan. Permasalahan tumpah tindih kepemilikan lahan ini adalah masalah yang paling sering ditemukan, hal ini terjadi  dimungkinkan karena adanya praktek pemalsuan dokumen kepemilikan ataupun kesalahan prosedur administrasi yang biasanya berujung pada adanya sertipikat ganda.
Kesulitan mengurus sertipikat tanah juga menjadi polemik di masyarakat, di satu sisi masyarakat harus dapat membuktikan kepemilikannya atas suatu lahan dengan adanya sertipikat,  tetapi di sisi lain mengalami kesulitan dalam mengurusnya dikarenakan birokrasi yang berbelit-belit ditambah lagi seringnya ada oknum yang sengaja mencari keuntungan dalam proses mengurus administrasi kepemilikan tersebut, belum lagi masih maraknya praktek-praktek pungli dalam proses tersebut.
Masalah lain yang sering timbul dalam bidang pertanahan adalah seringnya negara tidak mengakui keberadaan hak-hak atas tanah adat, padahal Indonesia adalah negara dengan beragam suku,bahasa dan adat-istiadat, yang keberadaan masyarakat adat masih jelas ada dan berpengaruh dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya, masyarakat hukum adat sering menjadi tersisih dan bahkan tergusur dari tanahnya sendiri. Kondisi ini  ini disebabkan belum adanya aturan yang jelas tentang masyarakat hukum adat dalam hukum positif Indonesia, padahal kedudukan masyarakat hukum adat  di Indonesia telah ada jauh sebelum hukum positif nasional terbentuk.
Ganti rugi atas tanah juga menjadi masalah yang sering timbul. Hal ini sering diakibatkan karena masyarakat yang tanahnya diambil atau dikuasai untuk pembangunan fasilitas umum sering tidak mendapat ganti kerugian yang layak, bukan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau harga pasar yang berlaku atas tanah di kawasan tersebut. Seringkali ditemukan praktek-praktek pembebasan lahan dengan cara-cara intimidasi kepada masyarakat, penyunatan ganti rugi oleh oknum-oknum tertentu, bahkan ada yang berupa penipuan sehingga masyarakat tidak menerima ganti rugi yang telah dijanjikan.
Dari sederet permasalahan pertanahan tersebut di atas adalah beberapa contoh saja, artinya masih banyak lagi jenis-jenis permasalahan pertanahan yang sering ditemui pada prakteknya di lapangan.
Permasalahan pertanahan di Indonesia sangatlah kompleks dan berkelanjutan. Sehingga banyak pihak menilai bahwa UUPA tidak sanggup lagi mengakomodir semua permasalahan pertanahan yang ada di Indonesia. Berbagai peraturan turunan dan UUPA telah banyak dibuat, namun hal tersebut tidak menjadikan berkurangnya permasalahan pertanahan yang ada.
UUPA memerintahkan perlunya Undang-undang ataupun peraturan turunan  yang lebih rinci yang mengatur bagaimana cara pemerintah mensejahterakan  masyarakat lewat tata kelola sumber daya alam di indonesia. Seperti tata cara penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya yang diatur dan dibatasi dengan undang-undang (pasal 24 UUPA), pengaturan ketentuan mengenai hak milik (Pasal 51 ayat 1) dan pengaturan ketentuan mengenai hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa (Pasal 51 ayat 2).
Salah satu turunan atau regulasi yang diharapkan dapat membantu penyelesaian permasalahan pertanahan di Indonesia adalah Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan yang sudah bertahun-tahun masuk dalam program legislasi nasional, yakni sejak tahun 2012 atas inisiatif dari DPR-RI.  RUU Pertanahan ini akhirnya direncanakan akan disahkan pada bulan Sepember 2019, setelah 7 tahun proses pengerjaannya, namun lagi-lagi gagal disahkan karena mendapat berbagai penolakan yang akhirnya menjadi polemik. Seandainya pun RUU Pertanahan ini diluluskan menjadi Undang-undang, berbagai pihak baik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun  pemerhati pertanahan di Indonesia berencana akan langsung mengajukan Uji Materil (Judicial Review) ke  Mahkamah Konstitusi.
Batalnya pengesahan RUU Pertanahan ini menjadi Undang-undang  Pertanahan yang seharusnya dilaksanakan bertepatan dengan peringatan hari Agraria Nasional yakni pada tanggal 24 September 2019, adalah hasil keputusan bersama antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) . Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Sofyan Djalil mengatakan bahwa pembatalan ini terjadi karena masih ada poin-poin  dalam rancangan aturan yang masih perlu didiskusikan  ulang dan masih banyaknya aspirasi masyarakat yang belum terserap di dalam RUU Pertanahan  ini, terutama dalam hal pengakuan tanah hak ulayat (https://bisnis.tempo.co/read/1251943/ruu-pertanahan-batal-disahkan-ini-kata-sofyan-djalil).
Sementara itu ketua Komisi II DPR-RI sekaligus ketua rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan, Zainuddin Amali, mengatakan bahwa batalnya pengesahan RUU Pertanahan ini menjadi Undang-undang Pertanahan dikarenakan masih banyaknya materi dalam RUU ini yang masih diperdebatkan di publik (https://nasional.kompas.com/read/2019/09/26/21242741/dpr-tunda-pengesahan-ruu-pertanahan-ini-penjelasannya)

Apa yang menjadi permasalahan dalam RUU Pertanahan ini sehingga gagal untuk disahkan menjadi UU?
RUU Pertanahan yang diharapkan dapat memberikan kepastian hukum terhadap peruntukan, penggunaan, pemanfaatan, pengelolaan dan pemilikan tanah, ternyata dinilai sangat tidak berpihak kepada rakyat, petani dan masyarakat adat. Namun dinilai lebih berpihak kepada kepentingan investor dan membuat posisi rakyat semakin lemah dalam konflik agraria.
Berikut adalah beberapa poin dalam RUU Pertanahan yang menjadi perdebatan publik dan kontroversial:
1.                  Perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU)  hingga 90 Tahun
Dalam Pasal 26 RUU Pertanahan disebutkan bahwa Hak Guna Usaha dapat diberikan kepada Badan Hukum paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun (ayat 1b) dan dapat diperpanjang satu kali untuk masa 35 (tiga puluh lima) tahun (ayat 2b), serta dalam hal tertentu dapat diberikan masa perpanjangan HGU selama 20 (dua puluh) tahun oleh Menteri (ayat 4) dengan mempertimbangkan umur tanaman, jenis investasi (jangka panjang/pendek) dan/atau daya tarik investasi (ayat 5). Hal ini dinilai hanya berpihak kepada kepentingan investor dan menutup kemungkinan bagi masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah.
2.                  Nama pemilik izin Hak Guna Usaha (HGU) dirahasiakan
Pasal 46 ayat 8 RUU Pertanahan menyebutkan bahwa Masyarakat berhak mendapatkan informasi publik mengenai data Pertanahan kecuali informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun informasi yang dikecualikan tersebut diatur dalam Pasal 46 ayat 9 yakni daftar nama pemilik Hak Atas Tanah dan warkah. Hak Guna Usaha adalah hak penguasaan atas tanah negara, oleh karena itu seluruh data mengenai HGU harus tersedia dan dapat diakses oleh masyarakat umum (publik). Hal yang dikhawatirkan adalah ketika identitas pemilik HGU dirahasiakan, selain melanggar Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, juga disinyalir menjadi celah dalam melakukan praktek-praktek ilegal dalam masalah pertanahan dan perizinan.


3.                  Pelaku pemufakatan jahat dalam sengketa tanah bisa dipidana
Pasal 95 ayat 1 RUU Pertanahan menyebutkan bahwa Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama yang melakukan dan/atau membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik Pertanahan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda paling banyak Rp 15.000.000.000 (lima belas milyar rupiah). Hal ini dapat berpotensi mengkriminilasi masyarakat adat atau masyarakat terorganisir atau aktivis, seperti petani-petani yang tergabung dalam serikat tani. Selain itu, celah hukum ini akan dapat menimbulkan pertikaian dalam masyarakat ataupun timbulnya konflik kepentingan dan juga kesewenang-wenangan terhadap masyarakat lemah.
4.                  Ancaman Pidana Bagi Korban Penggusuran
Pasal 91 RUU Pertanahan menyebutkan sebagai berikut: Setiap orang yang menghalangi petugas dan/atau aparatur penegak hukum yang melaksanakan tugas pada bidang Tanah miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf c atau orang suruhannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Pasal ini menuai kontroversi dan penolakan dari masyarakat maupun lembaga-lembaga pemerhati masalah pertanahan karena dianggap membuka pintu kriminanalisasi oleh petugas dan/ atau aparatur penegak hukum kepada korban penggusuran. Dengan kata lain ada legitimasi hukum kepada petugas/penegak hukm untuk melakukan pemidanaan terhadap siapa saja yang menghalangi mereka dalam melaksanakan tugas pada bidang tanah miliknya.
Beberapa permasalahan tersebut di atas adalah beberapa contoh pasal-pasal kontroversi dari RUU Pertanahan yang mendapat penolakan dari masyarakat dan juga menjadi bahan perdebatan publik maupun ahli-ahli hukum.
Masalah pertanahan di Indonesia sangatlah rumit dan sering mengalami jalan buntu dan serta jalan yang panjang dalam proses penyelesaiannya. Sering muncul pertikaian dan bahkan masalah-masalah baru yang akibat dari permasalahan pertanahan yang ada. namun serumit dan sesulit apapun permasalahan tanah di Indonesia, haruslah dicari jalan keluarnya, yang salah satunya adalah regulasi yang memberikan rasa keadilan dan bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Regulasi yang harus lepas dari unsur kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Regulasi yang mampu menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat luas, yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bukan yang hanya melihat kepentingan-kepentingan investor ataupun pemodal, sebab  kita bukan negara kapitalis, melainkan negara demokrasi Pancasila. Untuk itu diharapkan juga kita memiliki legislatif yang memiliki kemampuan dalam merancang regulasi dalam masalah pertanahan dan juga memiliki hati dan pikiran yang tertuju pada kemakmuran rakyat. Sehingga suatu saat nanti kita akan memiliki peraturan perundang-undangan dalam bidang agraria yang benar-benar berkualitas dan semata-mata demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


=================================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar