Minggu, 28 Juni 2020

PERUBAHAN SOSIAL DAN PERUBAHAN HUKUM PADA MASA PANDEMI COVID-19 DI INDONESIA



PERUBAHAN SOSIAL DAN PERUBAHAN HUKUM PADA MASA PANDEMI COVID-19 DI INDONESIA


Oleh : SAUT MARULITUA SILALAHI, S.H.

Abstrak
Pandemi Corona Virus Disease 2019 atau yang disingkat dengan istilah COVID-19, yang terjadi di dunia saat ini membawa dampak yang sangat besar terhadap sejarah peradaban manusia,  baik di bidang sosial, budaya,politik dan hukum. Setiap negara di dunia akan dituntut  untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh pandemik ini. Jika tidak siap, negara tersebut akan mengalami krisis, baik secara ekonomi maupun krisis di bidang  kesehatan. Indonesia sebagai salah satu negara yang tidak luput dari penyebaran COVID-19 ini mengalami dampak yang sangat luar biasa. Untuk itu pemerintah harus mempersiapkan diri dengan berbagai hal untuk mencegah semakin luasnya pandemik COVID-19 ini atau paling tidak menahan laju penyebarannya. Ada 2 (dua) hal besar yang harus diperhatikan dalam menyikapi situasi ini yakni; Pertama, adanya regulasi yang dibuat khusus untuk mengantisipasi situasi ini, yang mana hal ini mutlak harus ada untuk mengantisipasi berbagai hal, termasuk dampak akibat pandemik COVID-19 ini. Namun pemerintah juga harus tetap jeli melihat perkembangan  situasi yang memungkinkan perlunya regulasi-regulasi baru yang mengikuti kebutuhan dan kegentingan dalam masyarakat. Bukan tidak mungkin regulasi yang baru saja dibuat harus digantikan atau diperbaharui akibat dari perkembangan situasi yang tidak menentu.  Kedua, perlu adanya perubahan perilaku kehidupan masyarakat, terutama dalam bidang kesehatan,  yang tentunya dapat diatur atau bahkan dipaksakan melalui regulasi yang ada. Perubahan perilaku ini akan secara masif mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dan diharapkan menjadi ‘hukum’ kebiasaan yang hidup dalam masyarakat.
Kata Kunci: Perubahan Sosial, Pandemi

I.               Pendahuluan
A.           Latar Belakang
Pada pertengahan Desember 2019 di pasar Huanan, Wuhan, ditengarai tempat dimana munculnya virus ini untuk pertama kalinya. Pandemi Corona Virus Disease 2019 atau yang secara resmi oleh World Health Organization (WHO) disingkat namanya menjadi COVID-19 telah menjadi perbincangan yang tiada hentinya setiap hari di seluruh dunia sejak pertengahan Januari 2020. WHO, melalui Direktur Jenderalnya yaitu Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus pada tanggal 11 Maret 2020 menyatakan secara resmi bahwa virus COVID-19 adalah Pandemi[1], yang artinya bahwa virus ini telah menyebar secara luas di dunia.
Di Indonesia, kasus pertama COVID-19 yang terkonfirmasi adalah kasus seorang ibu (64 tahun) dan putrinya (31 tahun) yang diduga tertular karena kontak dengan warga negara Jepang yang datang ke Indonesia[2]. Hal ini dilaporkan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Maret 2020. Seiring semakin bertambahnya kasus-kasus baru dan melebarnya penyebaran COVID-19 ini, maka Presiden Joko Widodo menetapkan bahwa kondisi ini adalah merupakan bencana non alam, hal tersebut tertuang di dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional yang ditandatangi pada tanggal 13 April 2020.
B.            Permasalahan
Pandemi COVID-19 ini telah melahirkan berbagai macam permasalahan yang tidak hanya dialami oleh beberapa negara  atau suatu wilayah tertentu saja, namun  seluruh negara-negara di dunia mengalaminya. Bahkan negara-negara yang selama ini dianggap maju dalam bidang kesehatan maupun di bidang perekonomian mengalami guncangan yang terbilang sangat masif pengaruhnya. Sebut aja Italia, Inggris dan bahkan Amerika Serikat, tidak luput dari efek yang ditimbulkan oleh pandemi ini. International Monetery Fund (IMF) menyatakan bahwa  pandemi virus corona memicu krisis ekonomi menyebabkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dunia turun 4,9 % tahun ini.[3] Sebagian sektor ekonomi menjadi lumpuh akibat adanya berbagai kebijakan dalam mengantisipasi meluasnya pandemi COVID-19 ini. Salah satu kebijakan tersebut adalah pembatasan aktivitas sosial bahkan sampai kepada adanya larangan aktivitas sosial atau yang lebih sering kita dengar dengan istilah Lockdown. Indonesia sendiri sampai saat ini tidak melakukan kebijakan Lockdown, tetapi hanya sebatas pada pembatasan kegiatan sosial atau dikenal dengan istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini mendapat perhatian yang luar biasa di dunia sosial media dengan memberikan label atau hashtag (#) #DiRumahSaja ataupun hashtag #StayAtHome. Pro dan kontra akan kebijakan ini bergulir terus, bahkan negara adidaya sebesar Amerika Serikat mengalami pergolakan akan pemberlakuan kebijakan Lockdown ini sampai-sampai beberapa negara bagian melakukan protes untuk menolak kebijakan ini.[4]
Indonesia yang meski tidak memberlakukan sistem Lockdown, namun hanya sebatas pembatasan aktivitas sosial saja, sudah mengalami pergolakan dan bahkan kebijakan  ini seakan-akan tidak diindahkan. Alasan klasik masalah ekonomi tentu saja menjadi tameng buat masyarakat untuk menolak kebijakan ini.
Yang menjadi pertanyaan adalah apa kebijakan pemerintah untuk mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang timbul akibat dari pandemi COVID-19 ini? Dan sejauh apa peran pemerintah melalui kewenangannya yaitu melalui hukum untuk mengadakan perubahan sosial masyarakat Indonesia dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini.

II.            Pembahasan
A.           Pengertian Perubahan Sosial
Menurut kamus bahasa Indonesia perubahan dapat diartikan sebagai keadaan yang berubah. Jadi dapat didefinisikan bahwa perubahan adalah peralihan keadaan yang sebelumnya, perubahan tersebut tidak hanya berupa keadaan saja melainkan bisa berupa perubahan pola pikir, dan perilaku suatu masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, pola-pola keprilakuan, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya.[5]
Pandemi COVID-19, mau atau tidak mau, siap atau tidak siap,  telah mambawa dan menuntut perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat dunia. Perubahan ini bisa berjalan kepada kemajuan peradaban manusia maupun perkembangan kehidupan suatu bangsa atau negara. Akan tetapi, perubahan tersebut juga dapat mengarah kepada kemunduran kualitas kehidupan sosial. Arah perubahan ini akan  sangat tergantung kepada peran penguasa dan masyarakatnya.
Secara defenisi, sebelum kita jauh pada pembahasan berikutnya, perlu dirumuskan apa itu perubahan sosial. Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perilakuan di antara kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat.[6] Perubahan sosial tersebut mewujudkan diri dalam bentuk perubahan yang menimbulkan dampak sosial yang sedemikian rupa sehingga terjadi dalam bentuk, susunan serta hubungan yang berbeda dari yang semula. Artinya, ada terjadi pergeseran dalam pola hubungan di antara orang dengan orang atau kelompok dengan kelompok dalam masyarakat atau unsur-unsur dalam suatu sistem.
Bentuk perubahan sosial ada 3 (tiga)[7], yakni: Pertama, perubahan yang cepat (revolusi) dan perubahan yang lambat (evolusi). Perubahan sosial yang cepat merupakan perubahan sosial yang paling spektakuler, yang terjadi  dengan sangat cepat dan biasanya yang paling menonjol dan paling mudah diingat. Sedangkan perubahan sosial yang lambat adalah perubahan yang membutuhkan proses yang lama dan hasilnya tidak selalu berdampak instan pada masyarakat, namun dapat bertahan lama. Kedua, perubahan yang kecil dan perubahan yang besar. Perubahan yang kecil pada dasarnya merupakan perubahan  yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung yang berarti bagi masyarakat. Sebaliknya, perubahan yang besar merupakan perubahan yang membawa pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat. Ketiga, perubahan sosial yang dikehendaki (direncanakan) dan perubahan sosial yang tidak dikehendaki (tidak direncanakan). Perubahan sosial yang direncanakan merupakan perubahan yang direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan. Sedangkan perubahan sosial yang  tidak dikehendaki (tidak direncanakan) adalah perubahan sosial yang terjadi tanpa direncanakan, berlangsung di luar jangkauan atau pengawasan masyarakat serta dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak dikehendaki.
Namun tetap harus digarisbawahi bahwa perubahan tidak selamanya menghasilkan keadaan-keadaan yang positif, apalagi bila proses tersebut tidak berajalan secara teratur.[8] Keadaan ini dapat terjadi dikarenakan berbagai hal seperti perbedaan pandangan politik ataupun faktor ketidaksukaan terhadap suatu rezim pemerintahan, sehingga akan menentang kebijakan yang dibuat oleh pemerintah baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam.
B.            Pengertian Pandemi
Menurut Wikipedia[9], Pandemi adalah epidemi penyakit yang menyebar di wilayah yang luas, semisal beberapa benua, atau di seluruh dunia. Jika jumlah orang yang terinfeksi tergolong stabil, bukanlah pandemi melainkan dikategorikan sebagai Endemik. Istilah pandemi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sebagai wabah yang berjangkit serempak di mana-mana meliputi daerah geografi yang luas. Pandemi umumnya diklasifikasikan sebagai epidemi terlebih dahulu yang penyebaran penyakitnya cepat dari suatu wilayah ke wilayah tertentu. Sebagai contoh wabah virus Zika yang dimulai di Brasil pada 2014 dan menyebar ke Karibia dan Amerika Latin merupakan epidemi, seperti juga wabah Ebola di Afrika Barat pada 2014-2016.
Dalam sejarah, tercatat pernah terjadi beberapa kali persebaran penyakit yang pada akhirnya menjadi pandemi, seperti wabah pes yang bermula di London pada abad ke 14 menyebar hingga ke seluruh daratan Eropa. Pandemi yang paling terkenal dalam sejarah umat manusia sebelum pandemi COVID-19 adalah pandemi Flu Spanyol yang merupakan pandemi influenza yang menyebar ke seluruh dunia pada tahun 1918 hingga 1919. Diperkirakan 500 juta orang terinfeksi oleh penyakit ini dengan total kematian sebesar 50 juta di seluruh dunia. Walau bernama Flu Spanyol, penyakit ini ternyata pertama kali menyebar dari Kansas, Amerika Serikat. Hanya saja Spanyol menjadi negara pertama yang berani mengumumkan bahwa penduduk mereka mengalami penyakit ini. Dampak dari penyakit ini berupa kerusakan paru-paru yang parah dalam waktu relatif cepat. Korban virus ini mengalami paru-paru yang terisi air dengan kasus preumonia yang parah.
Hal yang menjadi tanda tanya besar adalah bahwa pandemi suatu penyakit semakin sering terjadi seiring semakin majunya peradaban umat manusia. Apakah hal ini merupakan bentuk malpraktek dari penelitian-penelitian yang dilakukan di laboratorium-laboratorium ataukah ini suatu unsur kesengajaan untuk meraup keuntungan semata dalam dunia kesehatan, dan  bahkan ada yang berspekulasi ini adalah bentuk perang modern yang tidak lagi menggunakan senjata yang konvensional.

C.    Permasalahan Sosial yang Timbul Sebagai Dampak Pandemi COVID-19
Pandemi COVID-19 melahirkan banyak permasalahan-permasalahan sosial yang tidak disangka atau tidak terpikirkan sebelumnya. Situasi ini telah menciptakan pola kehidupan sosial yang baru dan harus dijalani sebagai konsekuensi dari dampak pandemi ini.
Kehidupan adat-istiadat yang identik dengan seremonial-seremonial yang melibatkan khalayak ramai telah tergerus oleh dampak pandemi ini dan dikuatkan dengan upaya hukum yang represif menjalankan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yakni pembatasan sosial berskala besar. Walaupun hukum represif dihubungkan dengan kekuasaan, namun dia tidak boleh dilihat sebagai suatu tanda dari kekuatan kekuasaan.[10] Jadi, tindakan pemerintah yang represid dalam menjalankan kebijakan PSBB bukanlah bentuk kesewengan-wenangan dari pemerintah, sehingga pemerintah tidak dapat dikatakan otoriter dalam melaksanakan kekuasaannya.
Pembatasan aktivitas sosial tersebut apabila berlangsung dalam  jangka waktu yang lama dikhawatirkan akan menggerus pola kebiasaan atau adat-istiadat yang sudah ada menjadi pola baru yang mungkin akan berbeda atau lambat laun menjadi jauh berbeda dari yang sebelumnya.
Contoh permasalahan lainnya adalah tingginya tindak kriminal di tengah-tengah masyarakat yang merupakan dampak pandemi COVID-19 di bidang ekonomi yang akhirnya berimbas kepada perilaku sosial dalam kehidupan bermasyarakat, seperti sikap apatis yang tinggi dan saling mencurigai.
Pertumbuhan sosial juga terhambat dikarenakan adanya pembatasan aktivitas sosial sebagi produk kebijakan dalam mencegah penyebarluasan pandemi ini. Anak  akan berkurang kuantitas dirinya dalam berinteraksi dengan temannya. Keadaan ini dikhawatirkan akan menciptakan anak yang kurang peduli dengan interaksi sosial dan akan berpotensi menaikkan sifat ego dari anak tersebut.
Kasus Corona di Indonesia juga telah hampir melumpuhkan kegiatan ekonomi masyarakat. Sejak pemerintah menerapkan berbagai kebijakan seperti Work From Home, pembatasan wilayah, dan penutupan berbagai tempat publik seperti tempat wisata, banyak perusahaan atau perkantoran yang meliburkan pegawainya. Para pengusaha juga bahkan ada yang memberhentikan karyawannya sebagai antisipasi dampak penutupan usaha dalam waktu yang belum ditentukan.  Hal ini tentu bisa menyebabkan angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia meningkat. Dengan berbagai masalah sosial ekonomi tersebut, pemerintah Indonesia berupaya untuk memulihkan kondisi, salah satunya dengan memberikan insentif sebagai stimulus bagi masyarakat. Namun, pemerintah juga bukan hanya perlu memperhatikan kesejahteraan masyarakat dalam hal ekonomi saja, pemerintah juga harus memperhatikan sisi sosial dan psikologis masyarakat. Hal ini karena kesejahteraan sosial bukan hanya menyangkut pemenuhan kebutuhan ekonomi, namun juga kebutuhan sosial dan psikologis berupa ketenangan dan keamanan bagi masyarakat. Salah satunya dengan terus membatasi informasi tidak benar (hoax) yang dapat meresahkan masyarakat dan memberikan informasi yang dapat memberikan semangat dan energi positif bagi masyarakat. Dengan demikian, kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia, baik yang terdampak Corona maupun yang tidak, akan tetap terjamin.
Tidak hanya itu, pekerja sektor informal juga sangat dirugikan akibat kasus Corona ini. Para pekerja informal yang biasanya mendapatkan pendapatan harian kini kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka adalah pekerja warung, toko kecil, pedagang asongan, pedagang di pasar, pengendara ojek online, hingga pekerja lain yang menggantungkan hidup dari pendapatan harian termasuk di pusat-pusat perbelanjaan. Akibatnya mereka memilih pulang kampung ke daerah masing-masing karena tidak sanggup menanggung beban kehidupan tanpa adanya kepastian pemasukan

D. Peranan Hukum dalam Perubahan Sosial Sebagai Akibat Pandemi COVID-19
Sejak kasus COVID-19 meningkat di Indonesia, berbagai permasalahan sosial dan ekonomi muncul di tengah masyarakat. Tak dapat dipungkiri jika COVID-19 telah hampir melumpuhkan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia.
Masalah sosial sendiri merupakan suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok sosial atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial. Masalah sosial timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor-faktor ekonomis, biologis, biopsikologis, dan kebudayaan. Semakin hari permasalahan sosial ekonomi yang ditimbulkan akibat COVID-19 semakin terlihat nyata bagi masyarakat.
Sejak kemunculan pertama kasus COVID-19 di Indonesia, beberapa barang menjadi langka di pasaran, kalaupun ada harganya sudah jauh melambung tinggi berlipat ganda, sebagai contoh adalah masker medis yang harganya bisa mencapai sepuluh kali lipat dari harga normalnya. Sempat juga terjadi apa yang disebut dengan istilah panic buying terhadap bahan-bahan kebutuhan pokok yang sempat membuat beberapa bahan pokok di pasaran melambung harganya. Informasi yang simpang siur dan tidak jelas juga menjadi faktor pemicu hal-hal ini, seperti ketika ada isu bahwa jahe merah dapat menjadi penangkal virus ini, mendadak harga jahe merah melambung berlipat ganda, dan dampaknya juga terjadi pada jahe biasa dan juga bahan rempah-rempah lainnya seperti kunyit, lengkuas, beras kencur dan bahkan bawan merah.[11] Dari kejadian ini tercermin bahwa akibat pandemi COVID-19 ini telah menimbulkan kekhawatiran di masyarakat, sehingga berupaya untuk menyelamatkan diri dengan menimbun stok pangan yang berlebihan.
Permasalahan sosial lainnya adalah semakin menipisnya tingkat kepedulian terhadap sesama. Ada prasangka dan dikriminasi terhadap korban COVID-19, yang mana hal ini didasari oleh ketakutan yang berlebihan jika tertular, sehingga ketika ada yang mendekati ciri-ciri dari efek yang ditimbulkan virus ini, masyarakat langsung berprasangka itu adalah gejala COVID-19. Kalau dahulu sebelum adanya virus ini, jika ada yang bersin di tempat umum, orang-orang tidak akan ambil pusing, namun pada masa pandemi ini, jika ada orang bersin, maka semua mata akan memandang dan menjauh dari orang tersebut.
Pemerintah dalam mencegah penyebarluasan pandemi COVID-19 ini telah mengeluarkan berbagai kebijakan, yang salah satunya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Kebijakan ini sering disingkat dengan istilah PSBB, yang mana kebijakan ini telah menimbulkan pergolakan sosial di masyarakat, ada yang pro dan ada yang kontra. Salah satu aksi nyata dari kebijakan PSBB ini adalah dilarangnya pertemuan atau pengarahan massa seperti resepsi pernikahan, acara adat kematian dan kegiatan ritual adat lainnya yang mengumpulkan orang dalam jumlah yang banyak. Hal ini menjadi polemik dalam masyarakat, namun harus tetap dipenuhi disamping kebijakan ini didukung oleh penindakan oleh aparat penegak hukum bagi yang tidak mengindahkannya.
Berbagai permasalahan tersebut di atas hanyalah beberapa dari permasalahan sosial yang timbul di masyarakat akibat dari dampak penyebaran pandemi COVID-19 ini. Yang menjadi topik pembahasan berikutnya adalah bagaimana pemerintah melalui perangkat-perangkatnya mengatasi atau mengakomodir permasalahan-permasalahan yang merupakan dampak dari pandemi COVID-19 ini. Dalam mengantisipasi hal-hal tersebut pemerintah  mempunyai tanggung-jawab yang besar dalam menciptakan berbagai regulasi dalam bentuk berbagai instrumen hukum.[12] Selain karena tanggung-jawab, negara memang berkewajiban menggunakan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu melalui pemberlakuan atau tidak memberlakukan suatu hukum sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara kita.[13] Dan sekarang bangsa kita, bahkan dunia, menghadapi permasalahan yang sama dan sangat genting urgensinya.
Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Presiden dalam hal kegentingan yang memaksa berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Adapun situasi saat ini telah memenuhi parameter sebagai kegentingan yang memaksa, yakni karena adanya kebutuhan yang mendesak, belum adanya undang-undang yang mengatur dan keadaan yang memerlukan kepastian dengan cepat untuk diselesaikan. Pembentukan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang harus tetap memperhatikan  nilai-nilai budaya yang hidup dalam tatanan masyarakat karena antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya adalah satu kesatuan yang harus searah demi terwujudnya hukum yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.[14]
Selain itu, pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945 juga menyatakan bahwa Presiden dapat menyatakan keadaan bahaya yang mana syarat-syarat dan akibatnya ditetapkan dengan undang-undang. Namun situasi pandemi COVID-19 ini belumlah dapat dikategorikan sebagai keadaan bahaya, sehingga pengaplikasian pasal 12 UUD 1945 ini belum relevan untuk dilakukan.
Dalam mengantisipasi dampak yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19, sebagai langkah awal, pemerintah menetapkan keadaan ini sebagai bencana non alam. Hal ini dikuatkan dengan diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)  Sebagai Bencana Nasional yang ditetapkan pada tanggal 13 April 2020. Sebelumnya, untuk mempercepat penanganan pandemi COVID-19 ini, pemerintah telah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang payung hukumnya adalah Keppres Nomor 7 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Keppres Nomor 9 Tahun 2020. Tujuan dibentuknya Gugus Tugas ini secara jelas dinyatakan dalam pasal 3 Keppres ini, yang mana salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan sinergi pengambilan kebijakan operasional.
Untuk mengantisipasi dampak dalam bidang ekonomi, pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi yang kemudian disahkan menjadi undang-undang yakni Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020. Terbitnya undang-undang ini bertujuan untuk mengantisipasi ancaman  yang membahayakan perekonomian nasional yang mana pemerintah melihat bahwa pandemi COVID-19 telah berdampak pada pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Maka jelas secara implisit undang-undang ini lahir sebagai bentuk social order yang muaranya memberikan perlindungan pada seluruh masyarakat.[15]
Semua peraturan yang dibuat beserta turunannya baik dalam bentuk peraturan-peraturan menteri bahkan sampai kepala peraturan kepala desa terkait penanganan pandemi COVID-19 telah dibuat.  Sekarang yang menjadi fokus perhatian adalah bagaimana pelaksanaannya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab hukum diharapkan menjadi alat untuk mengubah masyarakat (law as a tool of social engineering). Mengubah masyarakat yang dulunya tidak mengindahkan protokol-protokol kesehatan menjadi masyarakat yang mengikuti dan melakukan standar-standar protokol kesehatan, dan lain sebagainya. Mengubah masyarakat dengan menegakkan hukum tentulah tidak mudah, sebab setiap kelompok masyarakat memiliki problem  sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standar dan yang praktis, antara yang seharusnya atau yang diharapkan untuk dilakukan  dan apa yang dalam kenyataan dilakukan.[16] Belum lagi perbedaan akar budaya yang beragam yang hidup dan diakui dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Keberlakuan hukum dalam masyarakat tidaklah dapat berjalan sendiri, melainkan ada peran serta dari penegak hukum untuk membuat hukum  itu efektif. Sebaik dan sebagus apapun hukum, akan tetapi apabila dalam implementasinya atau  pelaksanaannya aparat penegak hukum  tidak bertindak tegas sesuai dengan tugas dan fungsinya, maka hukum  yang dibuat itu akan menjadi sia-sia.[17] Maka tujuan pemerintah dalam mengubah pola hidup masyarakat ke arah yang diinginkan akan tidak maksimal bahkan bisa tidak tercapai.
Perubahan sosial yang diikuti oleh perubahan hukum adalah suatu hubungan atau interaksi, dimana perubahan sosial akan mempengaruhi perubahan-perubahan hukum ataupun sebaliknya bahwa hukum diubah agar terjadi perubahan sosial yang seperti diharapkan oleh pemerintah sebagai pembuat dan pengawas keberlakuan hukum.
Roscoe Pound sebagai pencetus istilah law as a tool of social engineering mengemukakan bahwa hukum dapat dijadikan agen dalam perubahan sosial atau yang disebutnya dengan agen of social change.[18] Roscoe Pound menyatakan bahwa kontrol sosial diperlukan untuk menguatkan peradaban masyarakat manusia karena mengendalikan perilaku antisosial yang bertentangan dengan kaidah-kaidah ketertiban sosial. Hukum, sebagai mekanisme kontrol sosial, merupakan fungsi utama dari negara dan bekerja melalui penerapan kekuatan yang dilaksanakan secara sistematis dan teratur oleh agen yang ditunjuk untuk melakukan fungsi itu. Akan tetapi, Roscoe Pound menambahkan bahwa hukum saja tidak cukup, ia membutuhkan dukungan dari institusi keluarga, pendidikan, moral, dan agama. Hukum adalah sistem ajaran dengan unsur ideal dan empiris, yang menggabungkan teori hukum kodrat dan positivistik.
Dalam perspektif  positivisme hukum, hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiband masyarakat, yang harus ditunjang oleh kepastian hukum sebagai norma yang steril dari moral dan etika. Hukum dimaknai sebagai sebuah pedoman yang dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dan untuk dapat menetapkan peraturan umum dan pasti, rasa keadilan masyarakat sedikit banyak harus dikorbankan, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian hukum. Keadilan dalam perspektif yuridis-formil harus didasarkan oleh ketentuan hukum yang berlaku, bukan berdasarkan keadilan di luar kententuan hukum, hal ini dirasa penting untuk mencapai kepastian hukum.[19]
Mengenai kepastian hukum, Van Apeldoorn, mengemukakan dua aspek dalam kepastian hukum, yakni[20]: Pertama, kepastian hukum berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk masalah-masalah yang konkret untuk mendapatkan hukum yang dapat diprediksi (predictability), Kedua, kepastian hukum berarti perlindungan hukum.
Dampak pandemi COVID-19 dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara harus dapat diantisipasi melalui hukum dengan fungsinya sebagai alat untuk mengubah masyarakat sebagaimana halnya sesuai dengan teori atau pendapat dari Roscoe Pound. Demikian juga dari kacamata positivisme hukum yang menyatakan bahwa keadilan dapat dikesampingkan demi terwujudnya kepastian hukum  yang berlaku dalam masyarakat.
Namun di atas semua itu, sebagus dan sebaik apapun hukum yang diciptakan, akan sia-sia jika kesadaran masyarakat akan pelaksanaan hukum sangat rendah. Hukum tidak dapat diandalkan jika tidak ada kesadaran dari masyarakat untuk menjalankannya karena hukum pun mempunyai batas-batas kemampuan untuk menjamin  kepentingan-kepentingan warga masyarakat.[21]
III.         Penutup
A.           Kesimpulan
Pandemi COVID-19 telah membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan umat manusia secara global. Indonesia sebagai salah satu yang tidak luput dari pandemi ini dan juga sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk yang banyak tentu akan memiliki kekhawatiran yang sangat besar. Kekhawatiran tersebut wajar saja, mengingat selain jumlah penduduk yang besar, tetapi juga tingkat kesadaran masyarakat Indonesia terhadap kesehatan juga sangat rendah. Kekhawatiran akan terganggunya kesehatan dari ratusan juga penduduk Indonesia dan juga kekhawatiran akan terjadinya krisis ekonomi yang luar biasa yang bisa saja membuat perekonomian Indonesia kolaps.
Menghadapi kondisi dan dampak dari pandemi COVID-19 ini, pemerintah melalui kewenangannya membuat dan melaksanakan regulasi untuk mengubah perilaku masyarakat agar mampu bertahan menghadapi pandemi ini. Pemerintah juga membuat regulasi untuk mengantisipasi dampak-dampak yang timbul akibat dari pandemi ini. Disamping itu hukum diharapkan dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan yang berbeda dari masyarakat. Maka dari itu, pemerintah akan lebih mementingkan asas kepastian hukum (positivisme hukum) daripada asas keadilan dalam pemberlakuan hukum di masyarakat.
B.            Saran
Dinamika perubahan yang terjadi di masyarakat dalam masa pandemi ini sangat cepat. Jika tidak segera diakomodir oleh pemerintah dengan membuat kebijakan-kebijakan yang responsif, maka pemerintah bisa saja kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Untuk itu maka diharapkan pemerintah cepat dan tanggap dalam melihat perubahan-perubahan yang ada di masyarakat sebagai akibat dari dampak pandemi COVID-19 ini, sehingga setiap dampak dari perubahan-perubahan tersebut dapat diantisipasi dengan membuat kebijakan-kebijakan yang tepat yang dapat mencegah atau paling tidak meminimalkan dampak negatig dari perubahan-perubahan tersebut.
Daftar Pustaka


Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1988;
Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial, Rajawali Pers, Jakarta, 2018;
Abdul Halim, Buku Ajar Pengantar Filsafat Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2018;
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2018;
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang  Berkeadilan dan Bermartabat, PT. RagaGrafindo Persada, Depok, 2017;
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 25;




[5] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1988, hal. 100.
[6] Ibid, hal. 101.
[7] Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial, Rajawali Pers, Jakarta, 2018, hal. 13.
[8] Soerjono Soekanto, op.cit., hal.149.
[10] Abdul Halim, Buku Ajar Pengantar Filsafat Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2018, hal. 127.
[12] Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 112.
[13] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2018, hal. 2.
[14] Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 117.
[15] Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 136
[16] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang  Berkeadilan dan Bermartabat, PT. RagaGrafindo Persada, Depok, 2017, hal. 365.
[17] Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 120.
[18] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 25
[19] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal.107
[20] Ibid.
[21] Soerjono Soekanto,Op.Cit., hal. 144.

----------------------------------*****-------------------------------------

Rabu, 24 Juni 2020

Peranan Hukum dalam Mencegah Terjadinya Krisis Ekonomi Akibat Pandemi COVID-19 di Indonesia


Indonesia adalah negara hukum yang mengatur jalannya hidup bernegara dengan perangkat-perangkat aturan dan peraturan yang ada. Selain mengatur, negara juga hadir sebagai pelindung bagi masyarakatnya. Negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945  bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan  mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pemerintah  sangat berperan dalam mengatur perekonomian Indonesia sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Inilah yang menjadi pondasi kuat bagi pemerintah dalam mengatur sekaligus menjadi penentu arah kebijakan perekonomian Indonesia.
Dalam praktek penyelenggaraan negara  sering terjadi hal-hal mendesak dan berdampak bahaya baik secara regional maupun secara nasional. Seperti saat ini Indonesia dan seluruh dunia mengalami pandemi COVID-19 yang mengakibatkan terganggunya sektor ekonomi, sosial, politik dan pertahanan keamanan. Pandemi COVID-19 ini secara nyata telah mengganggu aktivitas ekonomi dan membawa pengaruh besar bagi perekonomian sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Salah satu implikasinya adalah berupa penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan dapat mencapai 4% (empat persen) atau lebih rendah dari itu, bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerangkan bahwa skenario pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam skenario berat hanya tumbuh 2,35 % (dua koma tiga puluh lima persen) sedangkan skenario sangat berat bisa tumbuh – 0,4 % (minus nol koma empat persen)[1]. Perekonomian Indonesia sangat tergantung kepada seberapa lama dan sebeapa parah penyebaran pandemi COVID-19 ini mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan masyarakat dan aktivitas ekonomi.
Penyebaran pandemi COVID-19 ini telah memberikan dampak dan ancaman pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, sehingga pemerintah perlu mengambil tindakan berupa kebijakan dan langkah-langkah luar biasa sebagai respon atas situasi ini, seperti di bidang perpajakan, keuangan daerah, pembiayaan dan lain sebagainya. Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait dalam menentukan arah kebijakan dan langkah-langkahnya tentu tidak bisa bekerja tanpa adanya perangkat hukum yang memadai sebagai landasan yang kuat untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud. Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Presiden dalam hal kegentingan yang memaksa berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Adapun situasi saat ini telah memenuhi parameter sebagai kegentingan yang memaksa, yakni karena adanya kebutuhan yang mendesak, belum adanya undang-undang yang mengatur dan keadaan yang memerlukan kepastian dengan cepat untuk diselesaikan. Berdasarkan hal tersebut pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. PERPPU ini mengatur tentang Kebijakan Keuangan Negara seperti wewenang pemerintah untuk menetapkan defisit anggaran, melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending), melakukan pergeseran anggaran antar unit, organisasi, antar fungsi dan atau program, menerbitkan Surat Utang Negara, menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran, memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan, memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah, melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplikasi dokumen di bidang keuangan negara, dan lain sebagainya. Selain mengatur Kebijakann Keuangan Negara, PERPPU ini juga mengatur tentang Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan seperti penambahan kewenangan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK), kewenangan Bank Indonesia (BI), kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan(LPS), dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Namun sebelum terbitnya PERPPU Nomor 1 Tahun 2020, telah ada Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing kegiatan, Realokasi Anggaran, Serta Pengadaan Barang Dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).  Inpres ini menekankan untuk mengutamakan penggunaan alokasi anggaran yang telah ada untuk kegiatan-kegiatan yang mempercepat penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) baik melalui Refocussing kegiatan dan/atau realokasi anggaran untuk percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Menteri Keuangan juga telah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Menteri Keuangan antara lain:
1.      PMK Nomor 19/PMK.07/2020 tentang Penyaluran dan Penggunaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Insentif Daerah Tahun Anggaran 2020 Dalam Rangka Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
2.      PMK Nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona, dan
3.      PMK Nomor 28/PMK.03/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pajak Terhadap Barang dan Jasa Yang Diperlukan Dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 11 /Pojk.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang memberikan wewenang kepada Bank untuk membuat kebijakan yang  mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi untuk debitur yang terkena dampak COVID-19, termasuk debitur usaha mikro, kecil dan menengah. Kebijakan tersebut dapat berupa kebijakan penetapan kualitas aset dan kebijakan restrukturisasi kredit atau pembiayaan.
Di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, beberapa Kepala Daerah juga telah membuat kebijakan dan langkah-langkah dalam menangani dampak pandemi COVID-19 ini baik untuk bidang kesehatan maupun ekonomi.
Sampai saat ini pemerintah belum mengambil sikap pada tahap Lock Down atau Darurat Sipil/Keadaan Bahaya (Pasal 12 UUD 1945) karena untuk hal tersebut diperlukan pertimbangan yang sangat matang, termasuk pada efek atau resiko yang akan terjadi baik secara ekonomi, sosial, politik, pertahanan dan keamanan. Sejauh ini pemerintah melalui aturan pemerintahan daerah, hanya memberi kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, yang tentu penerapannya akan berbeda di setiap daerah, tergantung kondisi dan situasi pandemi COVID-19 di daerah masing-masing.
Kita berharap pandemi COVID-19 ini segera berakhir dan mari kita dukung pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 ini dan dampak-dampaknya terhadap ekonomi, sosial, politik, pertahanan dan keamanan.
---



[1] Sri Mulyani Jelaskan Corona Bisa Bikin Ekonomi RI Resesi. Berita dari www.m.detik.com/finance tanggal 14 April 2020