PERUBAHAN SOSIAL DAN PERUBAHAN HUKUM PADA MASA PANDEMI COVID-19 DI INDONESIA
Oleh : SAUT MARULITUA SILALAHI, S.H.
Abstrak
Pandemi Corona Virus Disease 2019 atau yang disingkat dengan istilah COVID-19, yang
terjadi di dunia saat ini membawa dampak yang sangat besar terhadap sejarah
peradaban manusia, baik di bidang
sosial, budaya,politik dan hukum. Setiap negara di dunia akan dituntut untuk mempersiapkan diri menghadapi
perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh pandemik ini. Jika tidak siap, negara
tersebut akan mengalami krisis, baik secara ekonomi maupun krisis di
bidang kesehatan. Indonesia sebagai
salah satu negara yang tidak luput dari penyebaran COVID-19 ini mengalami dampak
yang sangat luar biasa. Untuk itu pemerintah harus mempersiapkan diri dengan
berbagai hal untuk mencegah semakin luasnya pandemik COVID-19 ini atau paling
tidak menahan laju penyebarannya. Ada 2 (dua) hal besar yang harus diperhatikan
dalam menyikapi situasi ini yakni; Pertama,
adanya regulasi yang dibuat khusus untuk mengantisipasi situasi ini, yang mana
hal ini mutlak harus ada untuk mengantisipasi berbagai hal, termasuk dampak
akibat pandemik COVID-19 ini. Namun pemerintah juga harus tetap jeli melihat
perkembangan situasi yang memungkinkan
perlunya regulasi-regulasi baru yang mengikuti kebutuhan dan kegentingan dalam
masyarakat. Bukan tidak mungkin regulasi yang baru saja dibuat harus digantikan
atau diperbaharui akibat dari perkembangan situasi yang tidak menentu. Kedua,
perlu adanya perubahan perilaku kehidupan masyarakat, terutama dalam bidang
kesehatan, yang tentunya dapat diatur
atau bahkan dipaksakan melalui regulasi yang ada. Perubahan perilaku ini akan
secara masif mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dan diharapkan menjadi
‘hukum’ kebiasaan yang hidup dalam masyarakat.
Kata
Kunci: Perubahan Sosial, Pandemi
I.
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Pada
pertengahan Desember 2019 di pasar Huanan, Wuhan, ditengarai tempat dimana
munculnya virus ini untuk pertama kalinya. Pandemi Corona Virus Disease 2019 atau yang secara resmi oleh World Health Organization (WHO)
disingkat namanya menjadi COVID-19 telah menjadi perbincangan yang tiada
hentinya setiap hari di seluruh dunia sejak pertengahan Januari 2020. WHO,
melalui Direktur Jenderalnya yaitu Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus pada tanggal 11 Maret 2020 menyatakan
secara resmi bahwa virus COVID-19 adalah Pandemi[1],
yang artinya bahwa virus ini telah menyebar secara luas di dunia.
Di
Indonesia, kasus pertama COVID-19 yang terkonfirmasi adalah kasus seorang ibu
(64 tahun) dan putrinya (31 tahun) yang diduga tertular karena kontak dengan
warga negara Jepang yang datang ke Indonesia[2].
Hal ini dilaporkan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Maret 2020.
Seiring semakin bertambahnya kasus-kasus baru dan melebarnya penyebaran
COVID-19 ini, maka Presiden Joko Widodo menetapkan bahwa kondisi ini adalah
merupakan bencana non alam, hal tersebut tertuang di dalam Keputusan Presiden
Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran COVID-19
sebagai Bencana Nasional yang ditandatangi pada tanggal 13 April 2020.
B.
Permasalahan
Pandemi
COVID-19 ini telah melahirkan berbagai macam permasalahan yang tidak hanya dialami
oleh beberapa negara atau suatu wilayah
tertentu saja, namun seluruh
negara-negara di dunia mengalaminya. Bahkan negara-negara yang selama ini
dianggap maju dalam bidang kesehatan maupun di bidang perekonomian mengalami
guncangan yang terbilang sangat masif pengaruhnya. Sebut aja Italia, Inggris
dan bahkan Amerika Serikat, tidak luput dari efek yang ditimbulkan oleh pandemi
ini. International Monetery Fund
(IMF) menyatakan bahwa pandemi virus corona memicu krisis ekonomi menyebabkan Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) dunia turun 4,9 % tahun ini.[3] Sebagian sektor ekonomi
menjadi lumpuh akibat adanya berbagai kebijakan dalam mengantisipasi meluasnya
pandemi COVID-19 ini. Salah satu kebijakan tersebut adalah pembatasan aktivitas
sosial bahkan sampai kepada adanya larangan aktivitas sosial atau yang lebih
sering kita dengar dengan istilah Lockdown.
Indonesia sendiri sampai saat ini tidak melakukan kebijakan Lockdown, tetapi hanya sebatas pada pembatasan
kegiatan sosial atau dikenal dengan istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB). Kebijakan ini mendapat perhatian yang luar biasa di dunia sosial media
dengan memberikan label atau hashtag (#) #DiRumahSaja
ataupun hashtag #StayAtHome. Pro dan
kontra akan kebijakan ini bergulir terus, bahkan negara adidaya sebesar Amerika
Serikat mengalami pergolakan akan pemberlakuan kebijakan Lockdown ini sampai-sampai beberapa negara bagian melakukan protes
untuk menolak kebijakan ini.[4]
Indonesia yang meski tidak memberlakukan sistem Lockdown,
namun hanya sebatas pembatasan aktivitas sosial saja, sudah mengalami
pergolakan dan bahkan kebijakan ini seakan-akan
tidak diindahkan. Alasan klasik masalah ekonomi tentu saja menjadi tameng buat
masyarakat untuk menolak kebijakan ini.
Yang menjadi pertanyaan adalah apa kebijakan pemerintah untuk
mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang timbul akibat dari pandemi
COVID-19 ini? Dan sejauh apa peran pemerintah melalui kewenangannya yaitu
melalui hukum untuk mengadakan perubahan sosial masyarakat Indonesia dalam
menghadapi pandemi COVID-19 ini.
II.
Pembahasan
A.
Pengertian Perubahan Sosial
Menurut
kamus bahasa Indonesia perubahan dapat diartikan sebagai keadaan yang berubah.
Jadi dapat didefinisikan bahwa perubahan adalah peralihan keadaan yang
sebelumnya, perubahan tersebut tidak hanya berupa keadaan saja melainkan bisa
berupa perubahan pola pikir, dan perilaku suatu masyarakat. Perubahan-perubahan
yang terjadi di masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah
sosial, pola-pola keprilakuan, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan,
lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan
lain sebagainya.[5]
Pandemi
COVID-19, mau atau tidak mau, siap atau tidak siap, telah mambawa dan menuntut perubahan dalam
tatanan kehidupan masyarakat dunia. Perubahan ini bisa berjalan kepada kemajuan
peradaban manusia maupun perkembangan kehidupan suatu bangsa atau negara. Akan
tetapi, perubahan tersebut juga dapat mengarah kepada kemunduran kualitas
kehidupan sosial. Arah perubahan ini akan
sangat tergantung kepada peran penguasa dan masyarakatnya.
Secara
defenisi, sebelum kita jauh pada pembahasan berikutnya, perlu dirumuskan apa
itu perubahan sosial. Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perilakuan di
antara kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat.[6]
Perubahan sosial tersebut mewujudkan diri dalam bentuk perubahan yang
menimbulkan dampak sosial yang sedemikian rupa sehingga terjadi dalam bentuk,
susunan serta hubungan yang berbeda dari yang semula. Artinya, ada terjadi
pergeseran dalam pola hubungan di antara orang dengan orang atau kelompok
dengan kelompok dalam masyarakat atau unsur-unsur dalam suatu sistem.
Bentuk perubahan
sosial ada 3 (tiga)[7], yakni:
Pertama, perubahan yang cepat (revolusi) dan perubahan yang lambat (evolusi).
Perubahan sosial yang cepat merupakan perubahan sosial yang paling spektakuler,
yang terjadi dengan sangat cepat dan
biasanya yang paling menonjol dan paling mudah diingat. Sedangkan perubahan
sosial yang lambat adalah perubahan yang membutuhkan proses yang lama dan hasilnya
tidak selalu berdampak instan pada masyarakat, namun dapat bertahan lama.
Kedua, perubahan yang kecil dan perubahan yang besar. Perubahan yang kecil pada
dasarnya merupakan perubahan yang
terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung
yang berarti bagi masyarakat. Sebaliknya, perubahan yang besar merupakan
perubahan yang membawa pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat. Ketiga,
perubahan sosial yang dikehendaki (direncanakan) dan perubahan sosial yang
tidak dikehendaki (tidak direncanakan). Perubahan sosial yang direncanakan
merupakan perubahan yang direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang
hendak mengadakan perubahan. Sedangkan perubahan sosial yang tidak dikehendaki (tidak direncanakan) adalah
perubahan sosial yang terjadi tanpa direncanakan, berlangsung di luar jangkauan
atau pengawasan masyarakat serta dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat
sosial yang tidak dikehendaki.
Namun
tetap harus digarisbawahi bahwa perubahan tidak selamanya menghasilkan keadaan-keadaan
yang positif, apalagi bila proses tersebut tidak berajalan secara teratur.[8]
Keadaan ini dapat terjadi dikarenakan berbagai hal seperti perbedaan pandangan
politik ataupun faktor ketidaksukaan terhadap suatu rezim pemerintahan,
sehingga akan menentang kebijakan yang dibuat oleh pemerintah baik secara
terang-terangan maupun secara diam-diam.
B.
Pengertian Pandemi
Menurut Wikipedia[9],
Pandemi adalah epidemi penyakit yang menyebar di wilayah yang luas, semisal
beberapa benua, atau di seluruh dunia. Jika jumlah orang yang terinfeksi
tergolong stabil, bukanlah pandemi melainkan dikategorikan sebagai Endemik. Istilah pandemi menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sebagai wabah yang berjangkit serempak
di mana-mana meliputi daerah geografi yang luas. Pandemi umumnya diklasifikasikan sebagai epidemi
terlebih dahulu yang penyebaran penyakitnya cepat dari suatu wilayah ke wilayah
tertentu. Sebagai contoh wabah virus Zika yang dimulai di Brasil pada 2014 dan
menyebar ke Karibia dan Amerika Latin merupakan epidemi, seperti juga wabah
Ebola di Afrika Barat pada 2014-2016.
Dalam sejarah,
tercatat pernah terjadi beberapa kali persebaran penyakit yang pada akhirnya
menjadi pandemi, seperti wabah pes yang bermula di London pada abad ke 14
menyebar hingga ke seluruh daratan Eropa. Pandemi yang paling terkenal dalam
sejarah umat manusia sebelum pandemi COVID-19 adalah pandemi Flu Spanyol yang merupakan pandemi
influenza yang menyebar ke seluruh dunia pada tahun 1918 hingga 1919.
Diperkirakan 500 juta orang terinfeksi oleh penyakit ini dengan total kematian
sebesar 50 juta di seluruh dunia. Walau bernama Flu Spanyol, penyakit ini
ternyata pertama kali menyebar dari Kansas, Amerika Serikat. Hanya saja Spanyol
menjadi negara pertama yang berani mengumumkan bahwa penduduk mereka mengalami
penyakit ini. Dampak dari penyakit ini berupa kerusakan paru-paru yang parah
dalam waktu relatif cepat. Korban virus ini mengalami paru-paru yang terisi air
dengan kasus preumonia yang parah.
Hal yang menjadi tanda tanya besar
adalah bahwa pandemi suatu penyakit semakin sering terjadi seiring semakin majunya
peradaban umat manusia. Apakah hal ini merupakan bentuk malpraktek dari
penelitian-penelitian yang dilakukan di laboratorium-laboratorium ataukah ini
suatu unsur kesengajaan untuk meraup keuntungan semata dalam dunia kesehatan,
dan bahkan ada yang berspekulasi ini
adalah bentuk perang modern yang tidak lagi menggunakan senjata yang
konvensional.
C. Permasalahan Sosial yang Timbul
Sebagai Dampak Pandemi COVID-19
Pandemi COVID-19 melahirkan banyak
permasalahan-permasalahan sosial yang tidak disangka atau tidak terpikirkan
sebelumnya. Situasi ini telah menciptakan pola kehidupan sosial yang baru dan
harus dijalani sebagai konsekuensi dari dampak pandemi ini.
Kehidupan adat-istiadat yang identik
dengan seremonial-seremonial yang melibatkan khalayak ramai telah tergerus oleh
dampak pandemi ini dan dikuatkan dengan upaya hukum yang represif menjalankan
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yakni pembatasan sosial berskala
besar. Walaupun hukum represif dihubungkan dengan kekuasaan, namun dia tidak boleh
dilihat sebagai suatu tanda dari kekuatan kekuasaan.[10]
Jadi, tindakan pemerintah yang represid dalam menjalankan kebijakan PSBB
bukanlah bentuk kesewengan-wenangan dari pemerintah, sehingga pemerintah tidak
dapat dikatakan otoriter dalam melaksanakan kekuasaannya.
Pembatasan aktivitas sosial tersebut
apabila berlangsung dalam jangka waktu
yang lama dikhawatirkan akan menggerus pola kebiasaan atau adat-istiadat yang
sudah ada menjadi pola baru yang mungkin akan berbeda atau lambat laun menjadi
jauh berbeda dari yang sebelumnya.
Contoh permasalahan lainnya adalah
tingginya tindak kriminal di tengah-tengah masyarakat yang merupakan dampak
pandemi COVID-19 di bidang ekonomi yang akhirnya berimbas kepada perilaku sosial
dalam kehidupan bermasyarakat, seperti sikap apatis yang tinggi dan saling
mencurigai.
Pertumbuhan sosial juga terhambat
dikarenakan adanya pembatasan aktivitas sosial sebagi produk kebijakan dalam
mencegah penyebarluasan pandemi ini. Anak
akan berkurang kuantitas dirinya dalam berinteraksi dengan temannya.
Keadaan ini dikhawatirkan akan menciptakan anak yang kurang peduli dengan
interaksi sosial dan akan berpotensi menaikkan sifat ego dari anak tersebut.
Kasus
Corona di Indonesia juga telah hampir melumpuhkan kegiatan ekonomi masyarakat.
Sejak pemerintah menerapkan berbagai kebijakan seperti Work From Home,
pembatasan wilayah, dan penutupan berbagai tempat publik seperti tempat wisata,
banyak perusahaan atau perkantoran yang meliburkan pegawainya. Para pengusaha
juga bahkan ada yang memberhentikan karyawannya sebagai antisipasi dampak
penutupan usaha dalam waktu yang belum ditentukan. Hal ini tentu bisa
menyebabkan angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia meningkat. Dengan
berbagai masalah sosial ekonomi tersebut, pemerintah Indonesia berupaya untuk
memulihkan kondisi, salah satunya dengan memberikan insentif sebagai stimulus
bagi masyarakat. Namun, pemerintah juga bukan
hanya perlu memperhatikan kesejahteraan masyarakat dalam hal ekonomi saja,
pemerintah juga harus memperhatikan sisi sosial dan psikologis masyarakat. Hal
ini karena kesejahteraan sosial bukan hanya menyangkut pemenuhan kebutuhan
ekonomi, namun juga kebutuhan sosial dan psikologis berupa ketenangan dan
keamanan bagi masyarakat. Salah satunya dengan terus membatasi informasi tidak
benar (hoax) yang dapat meresahkan
masyarakat dan memberikan informasi yang dapat memberikan semangat dan energi
positif bagi masyarakat. Dengan demikian, kesejahteraan bagi masyarakat
Indonesia, baik yang terdampak Corona maupun yang tidak, akan tetap terjamin.
Tidak hanya itu, pekerja sektor
informal juga sangat dirugikan akibat kasus Corona ini. Para pekerja informal
yang biasanya mendapatkan pendapatan harian kini kesulitan untuk memenuhi
kebutuhannya. Mereka adalah pekerja warung, toko kecil, pedagang asongan,
pedagang di pasar, pengendara ojek online, hingga pekerja lain yang
menggantungkan hidup dari pendapatan harian termasuk di pusat-pusat
perbelanjaan. Akibatnya mereka memilih pulang kampung ke daerah
masing-masing karena tidak sanggup menanggung beban kehidupan tanpa adanya
kepastian pemasukan
D. Peranan
Hukum dalam Perubahan Sosial Sebagai Akibat Pandemi COVID-19
Sejak kasus COVID-19 meningkat di Indonesia, berbagai
permasalahan sosial dan ekonomi muncul di tengah masyarakat. Tak dapat
dipungkiri jika COVID-19 telah hampir melumpuhkan kondisi sosial ekonomi
masyarakat Indonesia.
Masalah sosial sendiri merupakan suatu ketidaksesuaian antara
unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok
sosial atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok
sosial tersebut sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial. Masalah sosial
timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang
bersumber pada faktor-faktor ekonomis, biologis, biopsikologis, dan kebudayaan.
Semakin hari permasalahan sosial ekonomi yang ditimbulkan akibat COVID-19 semakin
terlihat nyata bagi masyarakat.
Sejak kemunculan pertama kasus COVID-19 di Indonesia,
beberapa barang menjadi langka di pasaran, kalaupun ada harganya sudah jauh
melambung tinggi berlipat ganda, sebagai contoh adalah masker medis yang
harganya bisa mencapai sepuluh kali lipat dari harga normalnya. Sempat juga
terjadi apa yang disebut dengan istilah panic
buying terhadap bahan-bahan kebutuhan pokok yang sempat membuat beberapa
bahan pokok di pasaran melambung harganya. Informasi yang simpang siur dan
tidak jelas juga menjadi faktor pemicu hal-hal ini, seperti ketika ada isu
bahwa jahe merah dapat menjadi penangkal virus ini, mendadak harga jahe merah
melambung berlipat ganda, dan dampaknya juga terjadi pada jahe biasa dan juga
bahan rempah-rempah lainnya seperti kunyit, lengkuas, beras kencur dan bahkan
bawan merah.[11]
Dari kejadian ini tercermin bahwa akibat pandemi COVID-19 ini telah menimbulkan
kekhawatiran di masyarakat, sehingga berupaya untuk menyelamatkan diri dengan
menimbun stok pangan yang berlebihan.
Permasalahan sosial lainnya adalah semakin menipisnya tingkat
kepedulian terhadap sesama. Ada prasangka dan dikriminasi terhadap korban
COVID-19, yang mana hal ini didasari oleh ketakutan yang berlebihan jika
tertular, sehingga ketika ada yang mendekati ciri-ciri dari efek yang ditimbulkan
virus ini, masyarakat langsung berprasangka itu adalah gejala COVID-19. Kalau
dahulu sebelum adanya virus ini, jika ada yang bersin di tempat umum,
orang-orang tidak akan ambil pusing, namun pada masa pandemi ini, jika ada
orang bersin, maka semua mata akan memandang dan menjauh dari orang tersebut.
Pemerintah dalam mencegah penyebarluasan pandemi COVID-19 ini
telah mengeluarkan berbagai kebijakan, yang salah satunya adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam
Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19). Kebijakan ini sering disingkat dengan istilah
PSBB, yang mana kebijakan ini telah menimbulkan pergolakan sosial di
masyarakat, ada yang pro dan ada yang kontra. Salah satu aksi nyata dari
kebijakan PSBB ini adalah dilarangnya pertemuan atau pengarahan massa seperti
resepsi pernikahan, acara adat kematian dan kegiatan ritual adat lainnya yang
mengumpulkan orang dalam jumlah yang banyak. Hal ini menjadi polemik dalam
masyarakat, namun harus tetap dipenuhi disamping kebijakan ini didukung oleh
penindakan oleh aparat penegak hukum bagi yang tidak mengindahkannya.
Berbagai permasalahan tersebut di atas hanyalah beberapa dari
permasalahan sosial yang timbul di masyarakat akibat dari dampak penyebaran
pandemi COVID-19 ini. Yang menjadi topik pembahasan berikutnya adalah bagaimana
pemerintah melalui perangkat-perangkatnya mengatasi atau mengakomodir
permasalahan-permasalahan yang merupakan dampak dari pandemi COVID-19 ini.
Dalam mengantisipasi hal-hal tersebut pemerintah mempunyai tanggung-jawab yang besar dalam
menciptakan berbagai regulasi dalam bentuk berbagai instrumen hukum.[12] Selain karena
tanggung-jawab, negara memang berkewajiban menggunakan hukum sebagai alat untuk
mencapai tujuan tertentu melalui pemberlakuan atau tidak memberlakukan suatu
hukum sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan yang dihadapi oleh masyarakat
dan negara kita.[13]
Dan sekarang bangsa kita, bahkan dunia, menghadapi permasalahan yang sama dan
sangat genting urgensinya.
Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Presiden
dalam hal kegentingan yang memaksa berhak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang. Adapun situasi saat ini telah memenuhi
parameter sebagai kegentingan yang memaksa, yakni karena adanya kebutuhan yang
mendesak, belum adanya undang-undang yang mengatur dan keadaan yang memerlukan
kepastian dengan cepat untuk diselesaikan. Pembentukan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang harus tetap memperhatikan nilai-nilai budaya yang hidup dalam tatanan
masyarakat karena antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya adalah satu
kesatuan yang harus searah demi terwujudnya hukum yang bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat.[14]
Selain itu, pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945 juga menyatakan
bahwa Presiden dapat menyatakan keadaan bahaya yang mana syarat-syarat dan
akibatnya ditetapkan dengan undang-undang. Namun situasi pandemi COVID-19 ini
belumlah dapat dikategorikan sebagai keadaan bahaya, sehingga pengaplikasian pasal
12 UUD 1945 ini belum relevan untuk dilakukan.
Dalam mengantisipasi dampak yang ditimbulkan oleh pandemi
COVID-19, sebagai langkah awal, pemerintah menetapkan keadaan ini sebagai
bencana non alam. Hal ini dikuatkan dengan diterbitkannya Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional yang ditetapkan pada
tanggal 13 April 2020. Sebelumnya, untuk mempercepat penanganan pandemi
COVID-19 ini, pemerintah telah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan
COVID-19 yang payung hukumnya adalah Keppres Nomor 7 Tahun 2020 sebagaimana
telah diubah dengan Keppres Nomor 9 Tahun 2020. Tujuan dibentuknya Gugus Tugas
ini secara jelas dinyatakan dalam pasal 3 Keppres ini, yang mana salah satu
tujuannya adalah untuk meningkatkan sinergi pengambilan kebijakan operasional.
Untuk mengantisipasi dampak dalam bidang ekonomi, pemerintah
juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi yang kemudian
disahkan menjadi undang-undang yakni Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020.
Terbitnya undang-undang ini bertujuan untuk mengantisipasi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional yang
mana pemerintah melihat bahwa pandemi COVID-19 telah berdampak pada pertumbuhan
ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Maka jelas secara implisit undang-undang
ini lahir sebagai bentuk social order
yang muaranya memberikan perlindungan pada seluruh masyarakat.[15]
Semua peraturan yang dibuat beserta turunannya baik dalam
bentuk peraturan-peraturan menteri bahkan sampai kepala peraturan kepala desa
terkait penanganan pandemi COVID-19 telah dibuat. Sekarang yang menjadi fokus perhatian adalah
bagaimana pelaksanaannya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab
hukum diharapkan menjadi alat untuk mengubah masyarakat (law as a tool of social engineering). Mengubah masyarakat yang
dulunya tidak mengindahkan protokol-protokol kesehatan menjadi masyarakat yang
mengikuti dan melakukan standar-standar protokol kesehatan, dan lain
sebagainya. Mengubah masyarakat dengan menegakkan hukum tentulah tidak mudah,
sebab setiap kelompok masyarakat memiliki problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang
ideal dan yang aktual, antara yang standar dan yang praktis, antara yang
seharusnya atau yang diharapkan untuk dilakukan
dan apa yang dalam kenyataan dilakukan.[16] Belum lagi perbedaan akar
budaya yang beragam yang hidup dan diakui dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia.
Keberlakuan hukum dalam masyarakat tidaklah dapat berjalan
sendiri, melainkan ada peran serta dari penegak hukum untuk membuat hukum itu efektif. Sebaik dan sebagus apapun hukum,
akan tetapi apabila dalam implementasinya atau
pelaksanaannya aparat penegak hukum tidak bertindak tegas sesuai dengan tugas dan
fungsinya, maka hukum yang dibuat itu
akan menjadi sia-sia.[17] Maka tujuan pemerintah
dalam mengubah pola hidup masyarakat ke arah yang diinginkan akan tidak
maksimal bahkan bisa tidak tercapai.
Perubahan sosial yang diikuti oleh perubahan hukum adalah
suatu hubungan atau interaksi, dimana perubahan sosial akan mempengaruhi
perubahan-perubahan hukum ataupun sebaliknya bahwa hukum diubah agar terjadi
perubahan sosial yang seperti diharapkan oleh pemerintah sebagai pembuat dan
pengawas keberlakuan hukum.
Roscoe
Pound sebagai pencetus istilah law as a
tool of social engineering mengemukakan bahwa hukum dapat dijadikan agen
dalam perubahan sosial atau yang disebutnya dengan agen of social change.[18]
Roscoe Pound menyatakan bahwa kontrol sosial diperlukan untuk menguatkan
peradaban masyarakat manusia karena mengendalikan perilaku antisosial yang
bertentangan dengan kaidah-kaidah ketertiban sosial. Hukum, sebagai mekanisme
kontrol sosial, merupakan fungsi utama dari negara dan bekerja melalui
penerapan kekuatan yang dilaksanakan secara sistematis dan teratur oleh agen
yang ditunjuk untuk melakukan fungsi itu. Akan tetapi, Roscoe Pound menambahkan
bahwa hukum saja tidak cukup, ia membutuhkan dukungan dari institusi keluarga,
pendidikan, moral, dan agama. Hukum adalah sistem ajaran dengan unsur ideal dan
empiris, yang menggabungkan teori hukum kodrat dan positivistik.
Dalam
perspektif positivisme hukum, hukum
bertujuan untuk menciptakan ketertiband masyarakat, yang harus ditunjang oleh
kepastian hukum sebagai norma yang steril dari moral dan etika. Hukum dimaknai
sebagai sebuah pedoman yang dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat,
dan untuk dapat menetapkan peraturan umum dan pasti, rasa keadilan masyarakat
sedikit banyak harus dikorbankan, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan
kepastian hukum. Keadilan dalam perspektif yuridis-formil harus didasarkan oleh
ketentuan hukum yang berlaku, bukan berdasarkan keadilan di luar kententuan
hukum, hal ini dirasa penting untuk mencapai kepastian hukum.[19]
Mengenai
kepastian hukum, Van Apeldoorn, mengemukakan dua aspek dalam kepastian hukum,
yakni[20]:
Pertama, kepastian hukum berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk
masalah-masalah yang konkret untuk mendapatkan hukum yang dapat diprediksi (predictability), Kedua, kepastian hukum
berarti perlindungan hukum.
Dampak
pandemi COVID-19 dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara harus dapat
diantisipasi melalui hukum dengan fungsinya sebagai alat untuk mengubah
masyarakat sebagaimana halnya sesuai dengan teori atau pendapat dari Roscoe
Pound. Demikian juga dari kacamata positivisme hukum yang menyatakan bahwa
keadilan dapat dikesampingkan demi terwujudnya kepastian hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Namun
di atas semua itu, sebagus dan sebaik apapun hukum yang diciptakan, akan
sia-sia jika kesadaran masyarakat akan pelaksanaan hukum sangat rendah. Hukum
tidak dapat diandalkan jika tidak ada kesadaran dari masyarakat untuk
menjalankannya karena hukum pun mempunyai batas-batas kemampuan untuk
menjamin kepentingan-kepentingan warga
masyarakat.[21]
III.
Penutup
A.
Kesimpulan
Pandemi
COVID-19 telah membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan umat manusia
secara global. Indonesia sebagai salah satu yang tidak luput dari pandemi ini
dan juga sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk yang banyak tentu
akan memiliki kekhawatiran yang sangat besar. Kekhawatiran tersebut wajar saja,
mengingat selain jumlah penduduk yang besar, tetapi juga tingkat kesadaran
masyarakat Indonesia terhadap kesehatan juga sangat rendah. Kekhawatiran akan
terganggunya kesehatan dari ratusan juga penduduk Indonesia dan juga
kekhawatiran akan terjadinya krisis ekonomi yang luar biasa yang bisa saja
membuat perekonomian Indonesia kolaps.
Menghadapi
kondisi dan dampak dari pandemi COVID-19 ini, pemerintah melalui kewenangannya
membuat dan melaksanakan regulasi untuk mengubah perilaku masyarakat agar mampu
bertahan menghadapi pandemi ini. Pemerintah juga membuat regulasi untuk
mengantisipasi dampak-dampak yang timbul akibat dari pandemi ini. Disamping itu
hukum diharapkan dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan yang berbeda dari
masyarakat. Maka dari itu, pemerintah akan lebih mementingkan asas kepastian
hukum (positivisme hukum) daripada asas keadilan dalam pemberlakuan hukum di
masyarakat.
B.
Saran
Dinamika
perubahan yang terjadi di masyarakat dalam masa pandemi ini sangat cepat. Jika
tidak segera diakomodir oleh pemerintah dengan membuat kebijakan-kebijakan yang
responsif, maka pemerintah bisa saja kehilangan kepercayaan dari masyarakat.
Untuk itu maka diharapkan pemerintah cepat dan tanggap dalam melihat
perubahan-perubahan yang ada di masyarakat sebagai akibat dari dampak pandemi
COVID-19 ini, sehingga setiap dampak dari perubahan-perubahan tersebut dapat
diantisipasi dengan membuat kebijakan-kebijakan yang tepat yang dapat mencegah
atau paling tidak meminimalkan dampak negatig dari perubahan-perubahan
tersebut.
Daftar Pustaka
Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1988;
Nanang
Martono, Sosiologi Perubahan Sosial:
Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial, Rajawali Pers,
Jakarta, 2018;
Abdul
Halim, Buku Ajar Pengantar Filsafat Hukum,
Penerbit Nusa Media, Bandung, 2018;
Moh.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2018;
Teguh
Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat,
Teori dan Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, PT.
RagaGrafindo Persada, Depok, 2017;
Zainuddin
Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta, 2005, hal. 25;
[5] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1988, hal. 100.
[6] Ibid,
hal. 101.
[7] Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan
Poskolonial, Rajawali Pers, Jakarta, 2018, hal. 13.
[8] Soerjono Soekanto, op.cit., hal.149.
[10] Abdul Halim, Buku Ajar Pengantar Filsafat Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung,
2018, hal. 127.
[12] Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 112.
[13] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2018, hal. 2.
[14] Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 117.
[15] Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 136
[16] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim
Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu
Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang
Berkeadilan dan Bermartabat, PT. RagaGrafindo Persada, Depok, 2017,
hal. 365.
[17] Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 120.
[18] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 25
[19] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim
Barkatullah, Op.Cit., hal.107
[20] Ibid.
[21] Soerjono Soekanto,Op.Cit., hal. 144.
----------------------------------*****-------------------------------------